Peristiwa Mangkuk Merah
Peristiwa Mangkuk Merah /Pembantaian Rakyat Keturunan Etnis Tionghoa
Hubunggan harmonis antar warga
Dayak dengan keturunan etnis Tionghoa sempat sirna saat terjadinya Peristiwa Mangkuk Merah 1967 .Peristiwa Mangkuk Merah 1967 adalah
peristiwa penyerangan yang disertai pembunuhan dan pengusiran yang dilakukan
oleh suku Dayak terhadap permukiman warga etnis Tionghoa di pedalaman
Kalimantan Barat pada akhir tahun 1967. Peristiwa Mangkuk Merah
1967 yang sangat kental dengan nuansa politik ini dipicu oleh serangkaian
rekayasa pembunuhan sejumlah tokoh Dayak dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
menuduh pelakunya adalah PGRS/Paraku dan etnis Tionghoa merupakan penyokong
mereka. Peristiwa ini terjadi karena adanya suatu adu domba yang dilakukan oleh
angkatan militer Indonesia atau TNI yang menuduh warga etnis keturunan Tionghoa
pro-komunis
Peristiwa ini berawal dari
Konfrontasi Ganyang Malaysia.Pada awal dekade 1960-an,Presiden Soekarno
mengobarkan semangat untuk melakukan aksi gerakan ganyang Malaysia.Konfrontasi
Ganyang Malaysia adalah sebuah perang mengenai masa depan pulau Kalimantan antara
Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962-1966.Perang ini berawal dari keingginan
Malaysia untuk mengabungkan Brunei,Sabah dan Sarawak dengan persekutuan tanah
Melayu pada tahun 1961. Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara
Federasi Malaysia akan membuka jalan kolonialisme dan imperialisme di Asia
Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi Malaysia sangat bertolak
belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Selain
itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan
Inggris, bukan gagasan rakyat Malayasia, Singapura, Serawak, dan Sabah. Selain
itu, jika Negara Federasi Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan
dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang berujung pada proyek neokolonialisme
yang membahayakan revolusi Indonesia.Sebagian besar warga Tioghoa yang tinggal
di dekat perbatasaan turut menolak keras rencana Federasi Malaysia. Presiden Sukarno kemudian mengirimkan salah seorang Menteri Negara
di Kabinet Dwikora I, Oei Tjoe Tat, ke perbatasan utara Kalimantan untuk
menggalang kekuatan dalam rangka kampanye ganyang Malaysia. Oei Tjoe Tat yang
kebetulan juga keturunan Cina memperoleh sambutan meriah dari masyarakat
setempat.Kunjungan Oei Tjoe Tat membuahakan hasil sehingga dibentuklah barisan
sukarela atas izin pemerintah pusat. Organisasi barisan sukarela banyak
diminati warga, pihak yang bergabung bukan saja warga Kalimantan Utara saja,
melainkan pula para pemuda dari Singapura, Brunei Darussalam, bahkan dari
Malaysia yang tidak setuju dengan rencana pembentukan Federasi Malaysia. Barisan sukarela atau gerilyawan yang dibentuk antara lain Pasukan
Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang dikombinasikan dengan Pasukan Gerilya
Rakyat Sarawak (PGRS) pada 1964. Pasukan gabungan ini kemudian dikenal dengan
sebutan PGRS/Paraku, yang anggotanya didominasi oleh orang-orang
keturunan Tionghoa yang tinggal di negara-negara serumpun itu. Untuk persiapan menghadapi Malaysia, angkatan perang Indonesia
mendirikan pangkalan militer utama di Kalimantan Barat. Wilayahnya antara lain
Sambas, Bengkayang, Ledo, Sanggau Ledo, Putusibau, dan kota-kota perbatasan
lainnya Daerah-daerah itu dijadikan sebagai tempat
berkumpulnya para sukarelawan.Para sukarelawan dilatih oleh instruktur militer
Indonesia dan tinggal di kamp-kamp latihan di kawasan perbatasan Kalimantan
Barat serta Kalimantan Utara. PGRS/Paraku tampaknya memang dipersiapkan khusus
untuk perang melawan negara tetangga. Namun, kampanye kontra Malaysia pada
akhirnya justru menguap.
Memanasnya situasi dalam negeri
Indonesia seiring terjadinya peristiwa G30S 1965 membuat Soekarno berada di
ujung tanduk. Angin politik pun berganti arah. Kubu komunis yang semula
bergerak leluasa menjadi terjepit dan mendapati masa-masa paling suram. Soeharto yang berhasil mengendalikan kuasa Negara mengerahkan
seluruh jejaring negara untuk mengganyang PKI sampai ke akar-akarnya.
PGRS/Paraku pun kena imbasnya.Paraku/PGRS sendiri merupakan sayap bersenjata di
bawah naungan NKCP (North Kalimantan Communist Party), sebuah partai politik
komunis yang berlokasi di Sarawak, Malaysia. Militer dibawah naungan
Soeharto menggerakkan massa Dayak untuk membasmi PGRS/Paraku, termasuk ribuan
peranakan Tionghoa yang sebenarnya tidak terkait atau bahkan tidak tahu-menahu
atas persoalan ini. PGRS/Paraku yang sebelumnya dibentuk atas izin Sukarno,
menyasar ke permasalahan militer Indonesia lantaran terus diburu dengan
tudingan pro-komunis. Pertengahan Juli 1967, kaum gerilyawan
(PGRS,PARAKU)menyerbu lapangan udara TNI-AU di Singkawang dan Sanggau Ledo,
Kalimantan Barat.Serangan tersebut menewaskan empat orang anggota
militer. Selain itu, 154 pucuk senjata dan amunisi TNI juga berhasil direbut. Pemerintah pusat yang kala itu berada dalam kendali Soeharto pun
bereaksi. Ancaman PGRS/Paraku yang diduga berbaur dengan kelompok komunis
dirasa sudah amat mengkhawatirkan. Sehingga, diputuskan segera pengiriman
pasukan bantuan.Ada sembilan kesatuan militer yang diperbantukan untuk membasmi
PGRS/Paraku dalam rangkaian Operasi Sapu Bersih. Kondisi mulai mengarah kepada
ancaman konflik SARA. Terjadi pembunuhan orang Dayak yang belum diketahui
pelakunya di daerah Ledo, Seluas, Pahauman, Bengkayang, dan hampir di seluruh
wilayah yang terdapat komunitas etnis Cina. Situasi ini,dimanfaatkan oleh pihak
militer untuk menjadikan PGRS/Paraku sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Masyarakat Dayak yang sudah telanjur murka kemudian bertekad untuk
membalas dendam, dengan dukungan penuh dari TNI yang juga menghendaki
pembasmian gerilyawan PGRS/Paraku. Sehingga tragedi berdarah yang dikenal
sebagai Peristiwa Mangkuk Merah akhirnya terjadi.
Tragedi Berdarah Mangkuk
Merah
Memanasnya relasi masyarakat Dayak dengan warga keturunan Tionghoa
di Kalimantan bagian utara dan barat dimanfaatkan oleh para aparat militer.
Militer pun meminta dukungan dari mantan Gubernur Kalimantan Barat sekaligus
tokoh yang sangat disegani oleh masyarakat Dayak, Johanes Chrisostomus Oevaang
Oeray.Orang-orang Dayak diimbau ikut berpartisipasi bersama tentara untuk
menumpas PGRS/Paraku. Militer melakukan propaganda dengan menyebarkan isu bahwa
orang-orang komunis tidak menyukai sistem adat Dayak. Para panglima dari
kalangan orang Dayak direkrut dengan dalih PGRS/Paraku akan menguasai
Kalimantan Barat. Disebutkan pula bahwa para pemuka Dayak
diprovokasi dan ditanamkan pengertian PGRS/Paraku adalah komunis yang tidak
beragama dan orang Dayak tidak bisa hidup bersama-sama dengan komunis.
PGRS/Paraku disebut sebagai Cina-Sarawak yang ingin memecah-belah keamanan
wilayah Indonesia. Melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI)
Pontianak pada 21 September 1967, Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray mengultimatum
kepada warga peranakan Cina untuk meninggalkan wilayahnya dan pindah ke kota
kecamatan terdekat. Pada 11 Oktober 1967, diumumkan kepada seluruh kepala
kampung agar menghadiri pertemuan besar dan bersiap-siap melakukan apa yang
disebutnya Gerakan Demonstrasi. masyarakat Dayak di sana
sudah tersulut. Tradisi mangkuk merah, yang merupakan simbol dimulainya perang
dalam tradisi Dayak pun disiapkan.Mangkuk merah dipakai untuk media persatuan
Suku Dayak bila merasa kedaulatannya dalam bahaya besar. Panglima suku biasanya
mengeluarkan mangkuk merah yang berisi arang, daun juang, bulu ayam, dan darah
babi, untuk diedarkan dari kampung ke kampung secara cepat. Pasukan Dayak menyisir satu demi satu wilayah permukiman warga
peranakan Tionghoa. Salah satunya pada akhir Oktober 1967 yang menyasar wilayah
Anjungan, Mandor, dan Menjalin. Gerakan Mangkuk Merah berubah menjadi sentimen
rasial dengan mengidentikkan etnis Tionghoa sebagai anggota PGRS/Paraku.
Masyarakat dari etnis Tionghoa tanpa pandang bulu menjadi korban dari “gerakan
demonstrasi”.
Pada 14 November 1967, bergabung sejumlah sub-suku Dayak lainnya
dari pedalaman. Aksi kekerasan pun semakin besar.Mereka bertindak di luar
kontrol, membunuh, bahkan dikabarkan juga memakan bagian tubuh korban-korban
mereka. Sepanjang pekan-pekan berikutnya, terjadi rangkaian pembantaian massal
yang banyak menelan korban jiwa.Kekerasan mencapai puncaknya pada November
1967. Para penyerang dengan senjata berburu mulai membunuhi orang-orang
keturunan Tionghoa dan membakar harta bendanya. Toko-toko Cina dibakar dan
mayat-mayat korban dibariskan di jalan. Menurut riset dan
penelitian, Peristiwa Mangkuk Merah diperkirakan secara langsung menewaskan
2.000 sampai 3.000 orang. Namun, dampak secara tidak langsung diperkirakan
lebih besar lagi. Dampak secara tidak langsung itu adalah terjadinya gelombang
warga peranakan Cina yang mengungsi.Diperkirakan, antara 50.000 sampai 80.000
orang Tionghoa bergerak menuju pesisir Kalimantan Barat, yakni ke Pontianak dan
Singkawang. Lebih dari 5.000 orang pengungsi tewas karena masalah kesehatan,
kebersihan, dan kekurangan pangan, baik dalam perjalanan maupun meninggal dunia
di tempat pengungsian.
Sumber:https://youtu.be/bBUV_-k1Klc
https://youtu.be/vSVvObNBfYs
Komentar
Posting Komentar